Izinkan Aku Hidup
Oleh: Fahrial Jauvan Tajwardhani
“Ivan…bangun!!!”
Berat sekali rasanya membuka mata dihari libur seperti ini. Pelan-pelan Aku coba membuka mata mencari suara yang tega-teganya menggangguku sepagi ini. Kulihat Mamah sudah berpakaian rapi berdiri didepanku. Belum sepenuhnya nyawaku terkumpul langsung saja Aku melompat dari tempat tidurku menuju kamar mandi. Wah bodohnya Aku melupakan keberangkatanku hari ini. Untungnya tadi malam semua keperluanku sudah Mamah siapkan. Jadi Aku tinggal berangkat.
“Tasmu sudah didalam mobil, cepat berangkat.”
“Mamah ga nganter?” tanyaku.
“Ngga, Mamah ga mau nangis.”
“Wah, Mamah….sesayang itukah Mamah padaku,” canda manjaku sambil berjalan menghampiri kemudian memeluknya.
Matanya berbinar saatku memeluknya. Ada rasa ketidak tegaan dihatiku meninggalkan Mamah sendirian. Sekali lagi Aku memeluknya erat, binar dimatanya kini menjadi air yang menetes dipipi. Wajar kalo Mamah menangis seperti itu karna terhitung dari hari ini sampai 2 tahun kedepan kami tidak akan bertemu.
“Cepat berangkat, nanti Ivan ketinggalan pesawat!!!”
“Hati-hati, jaga diri Kamu baik-baik, jangan bandel, Ivan harus konsentrasi belajar ga boleh pacaran, disana harus nurut sama Om kamu.” lanjut Mamah menasehatiku.
***
Sekarang Aku berada dibenua eropa untuk melanjutkan studi. Masih ada waktu 2 tahun lamanya agar bisa lulus dan kembali keindonesia. Oh iya, disini Aku belajar bukan sebagai seorang mahasiswa tapi hanya seorang siswa.
Hari-hari berlalu seperti biasa, rutinitasku disini tidak ada yang mengesankan. Ingin sekali rasanya Aku buru-buru pergi dari keasingan ini. Pernah ada niatan berontak ke Mamah tapi Aku juga ga tega melihat Mamah kecewa. Mamah sangat berharap agar Aku berprestasi disini. Percuma rasanya Aku bebas kalo Mamah jadi kecewa.
Lambat sekali waktu berputar, ruang gerakku semakin hari semakin sempit. Kalau bukan buku pasti laptop yang jadi temanku. Hanya itu yang mengisi hari-hariku. Oh Tuhan, Aku berpikir kalo saat ini Aku sedang diuji.
Seperti biasanya hampir setiap pagi Aku berlari mengejar bis sekolah. Dan pagi ini adalah kesialan yang teramat sangat yang terjadi padaku, bis sekolah benar-benar penuh. Mungkin karena siswa baru. Susah rasanya bernafas ditengah himpitan orang-orang besar di sekelilingku. Baru beberapa menit menikmati perjalanan bisnya kembali berhenti. Ya ampun, semerana inikah hidupku, gumamku.
Bis sekolah kembali melanjutkan perjalanan, samar-samar aku melihat gadis yang baru naik tadi desak-desakkan mencari tempat duduk. Anak itu pasti siswa baru pikirku. Sebenarnya Aku sudah berniat untuk tidak menghiraukannya, na’asnya Aku, gadis itu berjalan menuju ke arahku dan, iya! Dia berdiri tepat di hadapanku. Karena dia perempuan jadi Aku mengalah saja padanya. Dan membiarkan Dia menduduki tempatku. “Hi…sit here,” ucapku sambil berdiri.
“Makasih.”
“Kamu dari Indonesia?”
“Iya.” sahutnya menatapku.
Spontan Aku mencubit pipinya dan berteriak kesenangan sehingga semua orang melihatku. Tatapan mereka seperti sedang mengintrogasiku. Aku hanya tertunduk malu. Dan Aku meminta maaf pada penumpang bis lainnya, sepertinya teriakanku mengagetkan mereka.
“Maaf ya…. disini Aku bener-bener ga punya teman jadi pas ketemu Kamu rasanya kaya lagi menang undian yang berhadiah mobil. Ga kebayang senengnya,” gurauku pada gadis dari Indonesia itu.
Dia tertawa mendengar gurauku.
“Kamu siswa baru?” lanjutku.
“No…no… no… Aku sudah satu tahun disini.” sahutnya sambil tertawa.
“Oh jadi ceritanya Kita satu angkatan nih,”
Gadis itu menganggukkan kepalanya. Sepertinya Aku jatuh cinta pada pandangan yang benar-benar pertama dalam hidupku.
Semenjak pertemuan itu ada harapan-harapan baru yang mulai kumunculkan dalam hidupku. Sekarang impianku bukan hanya ingin membahagiakan Mamah saja tapi juga Aku ingin membahagiakan diriku sendiri.
“Ivan….”
Aku menghentikan langkahku. Kepalaku celingak celinguk mencari sumber suara yang serak-serak parau memanggilku.
“Ivan…”
Suara itu semakin dekat ditelingaku. 1 tahun sudah lewat. Baru hari ini Aku mendengar seseorang di sekolah memanggil namaku.
Tiba-tiba gadis itu menepuk pundakku. “Yeeee, ketemu Kamu lagi,” ujarnya cengengesan.
“Kok kamu tau namaku? Tau dari mana?” tanyaku penasaran.
“Kemaren Aku cerita-cerita sama Kevin tentang pertemuan kita dibis eh tau-tau Dia kenal sama Kamu padahal Aku cuman ngasih tau ciri-ciri Kamu doang ke Kevin.”
“Yang Kamu maksud Kevin Bagas? Kayanya Dia temen SMPku.” tanyaku sambil meraba-raba ingatan.
“Iya. Oh Kalian teman lama ya. Ya, ya, ya…” ujarnya padaku.
“Aku Thesa.” lanjutnya sambil mengulurkan tangan.
“Thesa…. Thesa… nama yang bagus.”
“Oh iya, apa Kevin pacarmu?” lanjutku menanyakan kedekatan Kevin dan Thesa.
“Sama sepertimu, Dia juga temanku dari SMP, cuman kita beda SMP.”
“Bagus banget, untung kalian ga pacaran.” gumamku.
“Apa? Kamu ngomong apa barusan?” tanyanya penasaran.
“Ngga, Aku ngga ngomong apa-apa.”
“Tau ah Van! Jelas-jelas tadi Kamu ngomong.”
Setelah Thesa datang dalam hidupku. Sepertinya waktu tidak berjalan selambat kemaren. Sekarang malah Aku mau protes sama waktu yang jalannya kecepetan. Rasanya Aku tidak ingin meninggalkan tempat ini. Nyaman sekali disini setelah ada Thesa.
***1 tahun kemudian***
Semakin kedepan semakin jelas terlihat cinta segitiga diantara Kami. Aku harus rela berbagi cinta dengan Kevin. Sebenarnya Kami menyadari bahwa ada cinta segitiga, tapi masing-masing dari Kami tidak ada yang mau mengalah apalagi sampai menyerah untuk mendapatkan Thesa.
Seharusnya Aku lebih realistis melihat keadaan seperti ini. Dibandingkan denganku Kevin sangat lebih pantas untuk Thesa. Tapi, kukatakan ‘tidak’ meskipun Aku dipaksa menyerah untuk mendapatkan Thesa. Aku tidak bisa tanpa Thesa. Dan Aku juga tidak akan mau membiasakan diriku tanpa Thesa. Aku tidak akan menyerah, tidak akan.
Banyak hal yang sudah terlewatkanku bersama Thesa. Walaupun bersamanya sangat menyakitkan tapi Aku rela menahan sakit itu agar bisa terus ada disisinya. Ini tahun terakhir Kami disini. Semoga setelah lulus, Thesa juga pulang ke Indonesia dan melanjutkan studinya diperguruan tinggi yang ada di Indonesia agar Aku bisa bersamanya lagi. Walaupun tidak, Aku akan menunggunya sampai dia kembali ke Indonesia.
Aku selalu merasa iri pada Kevin yang lebih banyak waktu bersama Thesa. Terakhir kali Aku memegang tangan Thesa pada saat Kami berlibur kepantai. Kalo si Kevin setiap hari juga bisa memegang tangan Thesa.
Malam ini Kami bertiga janjian makan malam bareng. Thesa tampil sangat cantik, Dia datang sendirian kerumahku. Kemudian disusul dengan kedatangan Kevin.
Tempatnya sangat indah. Pepohonan ditempat ini benar-benar membuatku nyaman. Apalagi sambil melihat gadis pujaanku.
Malam ini Aku merasa sedikit lega karna si Kevin mendadak pulang lebih awal. Katanya dipanggil Omanya. Beruntungnya Aku. Seandainya Kevin tidak pulang bisa-bisa Aku mati duduk menahan rasa cemburu melihat mereka ngobrol berdua.
Belum sempat pramusaji menghidangkan makanan. Mendadak nafasku berhenti, pandanganku buram, dadaku nyut nyutan seperti ada yang menahan pompa jantungku. Aku berusaha tenang agar tidak merusak momen terbaikku bersama Thesa. Tapi Aku tak tahan, kucoba menahan sakit didadaku itu dengan tangan kiriku, tapi sakitnya tidak berhenti. Penglihatanku semakin redup hampir-hampir Aku tidak bisa melihat Thesa. Sakitnya semakin menggila. Aku mendengar suara Thesa samar-samar memanggil namaku.
Akhirnya Aku menyerah dari sakit itu. Penglihatanku benar-benar menghilang, Aku tidak bisa melihat apa-apa. Sekarang tubuhku terasa ringan. Pelan-pelan kubuka mataku. Yang kulihat hanya ada kain putih yang mengelilingiku. Apakah ini yang namanya surga? Gumamku.
Aku tidak bisa berpikir banyak, kembali kupejamkan mataku. Aku merasa seperti sedang terbang tinggi saat ini. Rasanya Aku terbang menorobos awan yang bergumpal. Aku benar-benar diketinggian yang sejengkal lagi akan menerobos langit. Tapi Aku berhenti. Aku berhenti digumpalan awan, disana Aku melihat seseorang yang wajahnya sama sekali tidak tampak jelas. Tapi entah mengapa mendengar suaranya membuatku merasa damai, membuatku ingin menggapainya. Suara itu membuatku berhenti. Suara itu memanggil manggil namaku berulang kali. Kemudian Dia menghilang. Tak lama, Aku terbangun dari mimpiku dan saat Aku terbangun. Ternyata Mamah orang pertama yang kulihat.
“Ma…Ma-mah.” sapaku kelu.
Belum sempat Aku bangkit dari tempat tidurku. Mamah memelukku erat, tubuhku terhempas lagi pada tempat tidurku. Lagi-lagi Aku membuat Mamah menangis. Hancur hatiku melihat Mamah menangis terisak seperti itu. Ingin sekali rasanya Aku menghajar diriku sendiri yang bisanya hanya merepotkan Mamah. Mamah terus saja memelukku erat, sesekali mencium keningku. Mamah tidak berkata apapun. Tidak juga memarahiku seperti biasanya. Airmataku pelan-pelan jatuh kepipi. Ada apa dengan Mamah? Tanyaku dalam hati. Berhenti rasanya jantungku melihat Mamah seperti itu. Kutarik kedua tangannya. Kucium telapak tangannya. Aku katakan padanya Aku sangat menyayanginya, Aku katakan lagi padanya, Aku tidak akan meninggalkannya.
Kemudian Mamah mengusap airmatanya. Pelan-pelan Mamah mengangkat kepalanya dan menatapku syahdu. “Maafkan Mamah Van.”
Mamah kembali menangis menggeleng-gelengkan kepalanya seolah ada hal yang membuatnya cemas. Semakin penuh otakku dengan pertanyaan-pertanyaan.
“Mamah kenapa?” tanyaku pelan.
“Inilah alasan Mamah menyekolahkan Kamu disini. Mamah tidak bisa menjagamu sendirian. Mamah juga tidak bisa melindungimu sendirian. Mamah tidak sanggup melihatmu menjerit kesakitan. Mamah tidak sanggup melihat anak kesayangan Mamah terluka,” ujarnya sambil menangis terisak.
“Maksud Mamah?”
“Maafkan Mamah…. Mamah sudah menyembunyikan hal ini kepadamu.”
“Katakan Mah! Ada apa denganku?” Aku merasa panik mendengar omongan Mamah.
“Ivan sedang mengalami penyumbatan pada jantung. Om Frans bilang ke Mamah kalo Ivan mengalami Jantung koroner pada level yang rendah. Masih ada kesempatan untuk sembuh makanya buru-buru Mamah sekolahkan Kamu disini. Biar Om Frans gampang ngobatin Ivan. Ivan yang sabar ya Mamah pasti akan melakukan apapun supaya Kamu sehat lagi. Ivan jangan khawatir.”
“Tapi kenapa ini sakit sekali Mah?”
“Sekarang penyakitmu itu berada pada level yang parah, tapi Ivan jangan takut Mamah sama Om Frans pasti akan membuat Ivan sehat lagi. Jangan khawatir Mamah selalu ada untuk Ivan.”
Bergetar hatiku rasanya mendengar ini. Tak sanggup rasanya Aku berpisah dari Mamah. Tak ingin rasanya Aku meninggalkan Mamah sendirian. Saat ini kurasa bumi seperti sedang berhenti berputar, manakala Mamah bilang penyakitku sudah pada level yang parah. Kenapa tidak langsung diambil saja nyawaku. Toh kalo sakit ini datang lagi rasanya Aku seperti sudah mati. Sakit sekali jantungku.
***
Akhirnya Aku menyelesaikan sekolahku dengan hasil yang memuaskan. Walaupun tidak berada pada posisi 1 sampai 10. Sudah lulus saja Aku sangat merasa puas. Nilaiku juga tidak begitu jelek. Selagi Mamah tidak protes itu artinya Aku sudah melaksanakan tugas dengan baik.
Akhirnya, Aku bisa kembali lagi ke Indonesia. Momen inilah yang Aku damba-dambakan 2 tahun belakangan ini.
Setelah perpisahan sekolah sampai sekarang Aku tidak pernah lagi bertemu dengan gadis pujaanku. Juga dengan si Kevin. Ya sudahlah sepertinya Aku harus berhenti menunggu Thesa. Toh percuma juga menunggunya, kalopun akhirnya Dia datang pastilah Kevin sudah menjadi kekasihnya.
***
“Ivan…..bangun!!!”
Malas sekali rasanya membuka mata sepagi ini. Suara itu mengganggu sekali. Mau tidak mau Aku mencoba membuka mataku yang seperti sedang digantungi besi, berat sekali. Pelan-pelan mataku terbuka. Kupikir Mamah yang membangunkanku. Tapi kok tumben Mamah terlihat lebih muda, gumamku dalam hati. Tak percaya dengan yang kulihat. Kukucek kedua mataku dengan tangan. Benar saja, yang membangunkanku pagi ini adalah Thesa. Gadis pujaanku. Aku langsung bangkit dari tempat tidur lalu mencubit pipinya seperti yang kulakukan dibis waktu pertama kali kami bertemu. Thesa tertawa melihat kelakuanku yang kekanak-kanakan ini. Tapi Aku tidak peduli. Aku benar-benar rindu padanya.
“Kenapa Kamu menghilang sih Van! Disana Aku mencarimu. Nomer telponmu sudah ga aktif. Sengaja ya biar Aku khawatir.” tanyanya sinis padaku.
“Apa? Ulangin kata terakhir yang Kamu ucapin tadi. Please Aku mau dengar lagi.” Pintaku melas.
“Aku khawatir.” Jawabnya ketus.
“Akhirnya…. Ada juga orang lain selain Mamah yang mengkhwatirkanku. Kamu orang pertama yang mengkhawatirkanku. Makasih ya…..” ujarku sambil tersenyum.
“Oh iya… Kevin mana?”
“Entahlah.” Sahutnya.
***
Nanti malam Thesa mengajakku makan malam bareng, katanya sih mau mengganti makan malam yang gagal dulu. Semoga kali ini penyakitku tidak kambuh lagi.
Malam hari tiba. Telapak tangan dan kakiku berkeringatan entah mengapa bisa seperti itu. Sepertinya Aku grogi menghadapi Thesa. Aku melihat disekelilingku orang-orang tampak biasa saja dengan pasangannya. Aku harus seperti mereka, gumamku menyemangati diri sendiri.
“Ivan.” Suara Thesa tepat dibelakangku.
Aku menoleh kearah Thesa. Wow, mataku tidak ingin melihat kelain selain ke gadis pujaanku itu. Malam ini penampilannya perfect.
Makan malampun dimulai. Sesekali Kami saling curi-curi pandang. Kaku sekali.
“Ivan….”
“Iya.” Sahutku dengan tertunduk malu.
“Aku baru tau kalo Kamu orangnya pemalu kaya gini…. Lucu.” ejeknya.
“Ini kali pertama dalam hidupku makan malam dengan perempuan selain Mamah. Jadi……” sahutku bingung mau bicara apa padanya.
“Jadi apa?”
“Ngga…. Ngga jadi apa-apa.”
Kekakuan inilah yang membuat Kami jadi banyak tertawa hingga akhirnya suasana menjadi nyaman dengan candaan-candaan.
“Ivan…” panggilnya dengan nada serius.
Aku kaget sekali mendengar suara yang terdengar arogan tersebut.
“Iya.” Sahutku ragu.
Mendadak suasana menjadi hening. “Aku suka sama Kamu, sejak Aku bertemu denganmu di bis sekolah,” tuturnya menatap tajam ke kornea mataku, “Sebelum Kamu masuk rumah sakit sebenarnya Aku ingin mengatakan ini. Tapi Aku ngga sempat.” Lanjutnya.
“Bagaimana dengan Kevin? Bukannya Kamu?”
“Iya dulu Aku memang suka sama Kevin tapi semenjak Kamu datang dihidupku. Aku ngga bisa berbohong Aku jauh lebih menyukaimu dibanding Kevin, Aku ngga bisa berhenti memikirkan Kamu. Tentangmu yang selalu menari-nari dipikiranku. Aku ngga bisa terus-terusan menghindar darimu dengan perasaanku yang seperti ini.” Ujarnya memotong pembicaraanku.
Ternyata selama ini Aku sudah salah paham kepada Thesa. Kukira Thesa tidak pernah memperhitungkanku dalam hidupnya. Kupikir hanya Kevin yang Dia pedulikan. Ternyata Aku salah. Aku tidak berusaha untuk mengerti perasaan Thesa. Aku terlalu egois, membiarkan perasaanku terlihat oleh Thesa. Tapi Aku tidak memberikan kesempatan pada Thesa untuk memperlihatkan perasaannya padaku. Sekarang sangatlah terlambat jika Aku bilang kalau Aku juga cinta sama Thesa. Setelah penyakit yang kuderita ini sangat parah, rasanya tidak mungkin Aku meng-iyakan keinginan Thesa, itu hanya akan menyakitinya saja. Beralasan palsu adalah jalan terbaik yang bisa Aku lakukan. Agar saat Aku menghilang dari hidupnya, Aku tidak membuat hatinya sakit. Mungkin inilah yang bisa Aku lakukan untuk melindunginya. Aku rela jika akhirnya Kevin yang akan memasang cincin pernikahan dijarinya. Aku rela jika akhirnya Kevin yang akan mendampinginya. Aku sangat lega jika setelah Aku tiada nanti Thesa bisa berbahagia, Aku sangat lega. Aku percaya pasti Kevin akan memberikan yang terbaik untuk Thesa. Melindungi, menjaga, dan selalu ada untuk Thesa. Aku yakin Kevin pasti akan melakukannya dengan baik.
“Sebelumnya Aku tau kalau Aku menyukaimu sejak kita pertama kali ketemu. Tapi Aku benar-benar ngga tau kalo Aku sukanya sedalam ini ke kamu. Lama Aku memendam perasaan ini. Selalu menahan rasa sakit dihatiku melihatmu yang sangat dekat dengan Kevin. Aku cemburu padamu, saat Kamu dekat denganku Aku selalu berpikir buruk tentangmu. Percuma rasanya Aku berkorban untukmu toh akhirnya Kamu sudah termiliki oleh Kevin. Itulah yang sering terlintas dibenakku. Sampai akhirnya Kamu menghilang dari penglihatanku. Setelah kelulusan, Aku mencarimu tapi Aku tidak bisa menemukanmu. Itu sangat menghancurkan hatiku. Otakku tidak bisa berhenti berprasangka buruk padamu. Aku mengira Kamu sudah bahagia bersama Kevin. Aku lelah dengan yang kurasakan, Aku keberatan dengan apa yang Aku lakukan. Aku berjaniji untuk berhenti menunggumu. Aku memutuskan untuk membuka hatiku menerima penghuni baru yang layak untuk menempati hatiku. Perlahan kekosonganku terisi oleh perempuan itu dan pelan-pelan Kamu sudah menghilang dari ingatanku,” ujarku sambil menatap wajahnya, “Sekarang Kamu datang lagi dengan membawa cinta yang sejak dulu Aku harap bisa mendapatkannya. Sayangnya Kamu datang disaat yang salah. Kamu datang disaat yang tidak tepat. Kamu datang setelah Aku mencintai orang lain dan Aku tidak bisa meninggalkan orang itu.” Lanjutku.
Binar dimatanya mencair menjadi airmata yang menetes. Tak sampai hati Aku melihatnya menangis. Sebenarnya apa yang kukatakan padanya sangat bertentangan dengan hatiku. Yang kuucapkkan tadi adalah kata-kata terburuk yang pernah keluar dari lisanku. Tapi Aku harus melakukannya. Sebelum Aku pergi Aku harus membuatnya membenciku agar Dia bisa buru-buru melupakanku. Aku tidak ingin membuatnya menangis lebih lagi dari ini. jadi biarlah kulakukan seperti ini agar saat Aku tiada Thesa tidak memiliki perasaan apa-apa lagi padaku dengan begitu Dia tidak akan tersakiti.
Thesa tidak menjelaskan apapun padaku. Dia pergi begitu saja meninggalkanku. Aku juga tidak menuntutnya mengatakan sesuatu padaku.
Setelah Dia menghilang dari penglihatanku. Jantungku mulai nyut nyutan. Ya ampun sakitnya tidak bisa tergambarkan oleh apapun. Buru-buru kuambil ponsel meminta Mamah menjemputku. Aku takut tidak bisa pulang dengan selamat jika kupaksakan.
Suara Mamah terdengar panik saat Aku menelponnya. Pendengaranku mulai terganggu. Sakit dijantungku membuat organ tubuhku yang lain juga terganggu. Aku mulai kehilangan kesadaran. Ponselku sepertinya jatuh. Aku tidak tau lagi apa yang sedang Mamah pikirkan saat telponku tiba-tiba terputus. Tapi yang jelas Mamah pasti akan sangat panik. Aku takut terjadi apa-apa sama Mamah saat diperjalanan menjemputku. Tapi Aku sudah tidak bisa menguasai diriku. Pandanganku hitam tidak ada sedikitpun cayaha yang kulihat. Nafasku terengah, Aku rasa Aku sudah mati sekarang.
Pelan-pelan Aku mulai tersadar. Mataku perlahan kubuka. Buram sekali penglihatanku saat pertama kali membuka mata. Tidak ada siapa-siapa disekelilingku. Aku mencoba mengenali tempatku berada sekarang. Ternyata Aku berada dirumah sakit. Tapi anehnya Mamah tidak ada. Tidak mungkin rasanya kalo Mamah tidak mencariku, gumamku dalam hati. Aku melihat lelaki berkaca mata menghampiriku.
“Maaf, apa anda keluarga Ibu Farida?” tanya lelaki berkacamata itu padaku.
“Benar, Dia Ibu saya Pak…. Kenapa dengan Ibu saya Pak?” tanyaku penasaran.
“Ibu saudara mengalami kecelakan. Tapi Alhamdulillah beliau sudah siuman. Hanya saja beliau mengalami kebutaan. Jika ada pendonor yang mau memberikan kornea matanya untuk Ibu anda. Beliau bisa selamat dari kebutaan.”
“Ambil mata saya pak! Ambil semua yang Ibu saya perlukan. Jantung, ginjal, ataupun yang lainnya. Ambil nyawa Saya jika Ibu memerlukannya. Lakukan yang terbaik untuknya Pak! Lakukan!” pintaku spontan memaksa lelaki berkacamata itu.
Ternyata penyakit jantungku tidak sebanding sakitnya dengan perasaanku yang hancur lebur mendengar Mamah kecelakaan dan menjadi buta. Aku tidak ingin melihatnya terluka, Aku juga tidak ingin Dia meninggalkanku. Dia adalah Perempuan terhebat didunia yang pernah kumiliki. Selalu memberiku yang terbaik. Perempuan yang tidak pernah menyakiti hatiku ataupun mengecewakanku. Aku akan melakukan apapun untuk membuatnya tetap hidup. Kukorbankan kornea mataku untuk Mamah. Aku berharap Dia baik-baik saja dan Dia bisa melihat dunia lagi dengan mata miliku itu.
Sebelum pendonoran dimulai Aku sempat berpesan pada Kevin, teman lamaku yang kebetulan sebagai pahlawan yang menolong Mamah. Semuanya kuceritakan padanya tentang cintaku pada Thesa dan rasa sayangku pada Mamah.
Proses pendonoran akan dimulai. Tiba-tiba jantungku sakit lagi. Nafasku tersendat lagi. Tapi Aku harus menahan sakit ini sampai dokter memberi bius padaku. Aku ingin proses pendonoran segera dilakukan agar Mamah bisa segera melihat lagi. Aku sudah tidak kuat lagi dengan sakit yang kutahan tapi untunglah prosesnya sudah berlangsung. Ingin rasanya Aku tetap hidup berlama-lama. Berdiri didepan Mamah sebagai pelindungnya dan bersandar disamping Thesa sebagai pendampingnya. Tapi sepertinya Aku sudah sampai dibagian akhir dari perjalanan hidupku. Aku berhenti pada takdir yang telah dituliskan untukku. Sekarang Aku merasa terbang tinggi sejajar dengan gumpalan awan. Aku berharap bertemu lagi dengan perempuan yang memanggilku dulu saat pertama kali Aku koma.
Aku berharap seseorang itu memanggilku dan membangunkanku dari mimpiku ini. Aku berharap saat membuka mata nanti Mamah memelukku lagi. Aku janji kali ini Aku akan membalas pelukan Mamah dengan pelukan terhangat yang Aku miliki. Tapi sepertinya Aku tidak mendapatinya lagi. Aku terbang semakin tinggi dengan perasaan yang jauh lebih damai sekarang. Sakit dijantungku sudah menghilang, tidak ada lagi nyut nyutan yang membuatku menangis. Sekarang Aku merasa sangat nyaman. Aku terbang semakin tinggi bahkan sudah menembus batas langit. Entah berada dimana Aku saat ini? yang jelas tempatku bukan dunia lagi. Aku berada ditempat dimana Aku hidup abadi. Semoga Kevin bisa memenuhi janjinya padaku untuk memberikan yang terbaik pada Thesa. Juga, semoga Kevin menceritakan semua yang ku sampaikan padanya. Dan meminta Thesa juga Mamah untuk tidak menangisiku. Karna Aku akan selalu ada untuk mereka meskipun Kami tak saling melihat. Sekarang jasadku memang sudah tidak ada lagi. Tapi hatiku masih tetap ada dihati mereka yang tulus mencintaiku.
SELESAI
Profil penulis:
Nama Lengkap: Fahrial Jauvan Tajwardhani
Panggilan : Jauvan
Agama : Islam
Jejaring sosial
Facebook : Fahrial Jauvan Tajwardhani
Twitter : @FahrialJauvan
0 komentar:
Posting Komentar